MERAUKE
Merah Putih di Ujung Timur: Tantangan Menghidupkan Koperasi Rakyat Kampung di Papua

Merah Putih di Ujung Timur: Tantangan Menghidupkan Koperasi Rakyat Kampung di Papua

12 Juni 2025

Oleh: Elias Mite

Di antara hutan lebat, lembah hijau, dan suara ombak yang memecah pantai selatan Papua, terbentang kampung-kampung yang menyimpan semangat hidup yang tenang, tetapi penuh tantangan. Di sanalah, di ujung-ujung negeri, Merah Putih tak hanya sekadar bendera yang berkibar tiap 17 Agustus, tetapi juga harapan akan hadirnya kemandirian ekonomi lewat koperasi rakyat.

Namun, menghidupkan Koperasi Merah Putih di kampung-kampung Papua bukan perkara mudah. Di balik semangat gotong royong yang masih hidup dalam komunitas adat, tersembunyi berbagai persoalan struktural yang membelit.

Salah satu tantangan terbesar adalah akses geografis. Banyak kampung di Papua hanya bisa dijangkau lewat jalan berlumpur, Sungai dan rawa, atau bahkan harus berjalan kaki belasan kilometer. Distribusi barang, pelatihan manajemen koperasi, hingga akses perbankan seringkali hanya mimpi. Bayangkan membentuk koperasi simpan pinjam di kampung yang tidak punya sinyal, listrik hanya beberapa jam sehari, dan tidak ada akses ke ATM atau internet banking.

Masyarakat Papua pada dasarnya hidup dalam semangat komunal, berbagi hasil dan tanggung jawab. Ini sejalan dengan semangat koperasi. Namun ketika harus dihadapkan dengan mekanisme formal koperasi—mulai dari akta notaris, NIK, NPWP, Rapat Anggota Tahunan (RAT), hingga laporan keuangan—banyak yang merasa asing.

Program koperasi di Papua seringkali berumur pendek. Datang bersama proyek pemerintah, lalu menghilang ketika pendanaan selesai. Yang tertinggal hanyalah papan nama dan buku simpanan kosong. Koperasi butuh pendampingan jangka panjang, bukan sekadar pelatihan satu kali lalu ditinggal.

Meski penuh tantangan, beberapa kisah sukses tetap menyala seperti lentera kecil di tengah gelap. Di beberapa distrik di Merauke, Jayawijaya, hingga Nabire, koperasi nelayan, petani, atau pengrajin mulai tumbuh. Mereka belajar secara bertahap, dibantu oleh tokoh gereja, kepala kampung, dan pegiat lokal yang sabar.

Yang paling penting adalah membangun model koperasi yang sesuai dengan konteks budaya Papua—tidak memaksakan model Jawa atau Jakarta ke kampung yang punya nilai, ritme hidup, dan pola interaksi yang berbeda.

Papua bukan wilayah yang miskin. Ia kaya akan alam, budaya, dan semangat hidup. Tapi kekayaan itu hanya bisa menjadi kesejahteraan jika dikelola bersama. Di sinilah Koperasi Merah Putih menemukan urgensinya—sebagai jembatan antara tradisi dan pembangunan, antara gotong royong dan kemandirian.

Merah Putih di ujung kampung bukanlah simbol kosong. Ia adalah harapan bahwa dari kampung-kampung yang jauh, bisa lahir kemandirian ekonomi yang adil dan bermartabat.

Namun harapan itu butuh kerja keras, kepekaan budaya, dan komitmen panjang dari semua pihak—pemerintah, pendamping lokal, gereja, adat, dan tentu saja, rakyat sendiri. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk mempersiapkan kemandirian koperasi merah putih diwilayah Papua. (0131)



Berita Lain